Semua Harga Kebutuhan Melambung, Bingung Tidak Sih?
Membaca halaman muka beberapa surat kabar hari ini, membuat kepala pagi-pagi ‘ngebul’ rasanya. Harga kebutuhan pokok membumbung melambung tinggi, tarif dasar listrik yang ditinggikan mulai berlaku, harga tabung gas yang semakin naik tapi makin seru juga tingkat bahayanya, dan sebagainya dan sebagainya.
Saya bukan ahli ekonomi, politikus apalagi. Saya hanyalah wanita biasa, ibu rumah tangga yang setiap saat bergaul dengan cabe keriting kol buntet dan bumbu dapur. Saya juga cukup paham harga minyak goreng kemasan bermerk yang dulu hanya di atas Rp 10 ribu rupiah tiap dua liter sekarang mencapai hampir dua kalinya. Juga minyak goreng curah yang semula Rp 6000 sekarang mencapai Rp 9500,- satu liternya. Belum lagi ayam potong yang harganya tak pernah dipotong lebih murah sedikitpun, telor yang dari Rp 8000,- makin hari makin membumbung dan hari ini mencapai Rp 14.500,- sekilogramnya. Gula pasir rasanya kini pahit bagi orang yang betul-betul punya kondisi keuangan cekak. Dari Rp 8000,- kembali naik.. naik.. ke puncak gunung .. dan sekarang mencapai Rp 11 ribu. Mau tahu harga labusium? Biasanya Rp 400 per butir, sekarang bisa mencapai Rp 3500,-. Hebat kan? Bagaimana dengan cabe rawit yang biasanya seribu perak bisa dapat segepok? Kini jangan sebut kata seribu perak…, bisa-bisa kita dilempar oleh si penjual sayur di pasar.
Kadang saya tersenyum sendiri memandang para ibu yang masih mengejar penjualan obral tas baju sepatu di malam hari di beberapa pertokoan mewah. Kebutuhan primerkah semua itu? Mungkin bagi segelintir wanita, iya. Penampilan memang harus nomor satu, nyonyah ! Aha.., saya sendiri masih bergelut di bisnis salon kok. Para ibu merawat bukan hanya melulu untuk dilihat cantik, namun untuk yang sadar diri kebersihan, perawatan yang apik, tetap memang membutuhkan pengerjaan yang dibantu oleh yang ahlinya. Rambut rontok ada solusinya, pipi lebam bercak hitam ada cara mengatasinya. Semua butuh biaya memang, meski ada kadar mahal dan tidaknya. Bagaimana dengan pembelian shampo, sabun, krim untuk pijat rambut dan kulit tubuh? Semuapun bagai berlari naik ke puncak pohon cempaka.. trilili..trilili……. tralala..tralala….. naik..naik ke puncak gunung.. tinggi.. tinggi sekali…. duuuh, pusyiiiiiiiiing… !!
Kembali ke kol buntet dan cabe keriting - pada zaman dahulu kala saat tuan Harmoko sebagai penguasa bagian Penerangan RI sembari tampil dengan rambutnya yang sudah licin dengan minyak rambut itu memberikan keterangan pers di Bina Graha usai acara Sidang Kabinet bidang Ekuin, orang-orang tak pernah menggubris penyebutan harga yang ia tuturkan. Cabe keriting.. kol buntet… semua rasanya masih aman-aman saja. Bahkan orang terasa kurang menganggap barang-barang makanan sayur mayur yang tersebut itu…, ah… remeh temeh…, apa artinya cabe keriting kol buntet… kan harga masih murah meriah, bukan?
Kini, kedua sayur mayur tadi beserta keluarganya yang lain, adalah kebutuhan yang sangat pokok bagi rakyat, yang jelata maupun yang masih hidup di awang-awang kemewahan. Seorang nyonya memberikan uang Rp 50 ribu kepada pembantunya untuk berbelanja di warung sayuran pinggir jalan, pulang-pulang hanya memperoleh hasil yang secupet sedikit dan mencengangkan. Pertama dikira sang babu nyatut duit belanja juragannya. Lama-lama, nyonya yang jarang baca koran itu ternganga melihat tulisan gede-gede segala tarif kebutuhan pokok yang mulai semakin tidak sopan harganya itu.
Kita kini memang tengah prihatin. Jangan main-main! Perut lapar tidak bisa ditolerir. Zaman saya belajar sejarah dulu, bolak-balik tersebut revolusi sosial bersumber dari perut lapar. Duh, ngeri amat ! Sungguh, kemarin di pasar Bintara Bekasi, seorang Ibu menggendong anaknya dengan selendang, berbekal uang Rp 3000 rupiah ( saudara-saudara, tiga ribu perak.., ingat ! ), sembari membujuk mbak Srie si tukang sayur minta agar bungkusan cabe keriting yang ia beli ditambahkan lagi sedkit. Maka mbak Srie pun mumet kepala. Di satu sisi ia kasihan, di sisi lain ia pun sudah mengodok koceknya untuk berbelanja dari pemasok dengan harga yang sudah tak seperti dulu.
Konon kepergian tugas kerja presiden kita kemarin telah terlaksana dengan jumlah rombongan yang besar, sampai menuju Mekkah sebagai tujuan akhir. Konon gedung DPR harus diperbaiki, diganti atau diapakanlah, karena kemiringannya sudah menakutkan, konon anggaran tiap instansi yang membengkak akan dikabulkan, konon berbagai istri yang suaminya pegawai non swasta bila syoping ke mal membawa uang tunai seputar seratus juta rupiah untuk membeli tas model terbaru dan dilarang keras sang suami memakai kartu kredit karena takut terlacak. Konon tas cap eh merk Hermes yang berwarna biru benhur, kuning jreng, hitam pekat dan merah mahrun itu harganya Rp 114 juta, memesannya tak bisa langsung, harus inden, dan berebut pula para wanita untuk memilikinya. Seru ya??
Dari awal saya sudah katakan, saya bukan pengamat ekonomi apalagi ahlinya. Saya hanya menulis ini semua sekedar mengingatkan, pekalah terhadap keadaan. Waspadalah. Sesekali memang kita butuh hiburan dan jalan-jalan. Sesekali kita perlu keriangan dengan merogoh kocek dompet agak berlebih.Tapi ada baiknya kita melihat jauh ke depan. Perjalanan masih panjang. Masih jauh. Apa yang terjadi pada negeri ini, kita tak pernah tahu. Melihat seluruh harga kebutuhan pokok yang semakin menyeramkan, tentu kita bertanya-tanya, akan dibawa ke mana negeri ini? Berapa banyak sih dari sekian ratus juta penduduk Indonesia yang bisa menikmati secangkir capucino hangat di kafe mewah? Atau tenderloin steak medium well?? Bahkan semangkok bakmi Gajah Mada yang sedap itu? Berapa pula jumlah manusia yang bisa menikmati Salvatore Feragammo untuk telapak kakinya sebagai alas sepatu yang kini harganya Rp 9 juta rupiah itu? Berapa banyak keluarga yang mampu mengawinkan anak-anaknya dengan pesta sangat meriah mahal bergengsi yang ukuran satu orang tamu makanan di hotel tarifnya Rp 400 ribu rupiah itu ( iseng-iseng kita hitung, kali 3 ribu tamu )… hhhmm.. !!
Seorang dokter yang bolak-balik berangkat haji karena memang petugas kesehatan pada travel biro haji tertentu baru-baru ini berkata, “Heran ya kok kita tidak bisa seperti Arab, yang dari puluhan tahun lalu saya minum air jeruk dingin segelas 2 real, dan sampai sekarang tarif itu tetap saja 2 real…, tapi kalau di negeri ini, dari Rp 2 ratus , sekarang Rp 20 ribu…”
Petinggi kita, ahli ekonomi kita, segala yang sudah dipilih rakyat untuk membenahi negeri ini, yang tugasnya seharusnya memeluk rakyatnya, yang sempat mengecap sekolah jauh-jauh ke negeri orang, yang gelarnya sederetan tak kunjung habis, dan kini hidup atas biaya pajak rakyat, tolonglah rakyatmu. Tolonglah negeri ini. Tolonglah bangsa ini. Maaf kalau dulu saya ingat Pak Harto, yang anak-anaknya punya sederet panjang jenis perusahaan itu pernah berkata, jangan sekali-kali mencoba dengan mudah menaikkan harga beras, karena itu sangat rawan.. upayakan harga beras stabil .. - kini kita bisa lihat sendiri, yang dulu seliter Rp 500,- sekarang termurah Rp 4500,- bukan? Itupun yang sudah butut banget penampilannya, dan ditelannya juga seret di tenggorokan.
Salam prihatin dari saya, perempuan yang sehari-hari berbelanja ke pasar tradisional dan menghitung uang belanja dengan ketar-ketir.
Sumber Dari : Kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar