Senin, 18 Januari 2010

Mengambil Hikmah Dari Yahudi-Yahudi “Nyeleneh”



Al-Quran menyebutkan bahwa kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memang tidak sama. Ada yang kemudian beriman kepada kenabian Muhammad saw. Jumalhnya sedikit (QS 2:88). Tetapi sebagian besar fasik. (QS 3:110). Di zaman Rasulullah saw, ada dua tokoh Yahudi yang terkemuka yang akhirnya memeluk Islam, beriman kepada risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw. Keduanya, yakni Hushein bin Salam dan Mukhairiq, menjadi bahan cemoohan kaumnya sendiri. Jika sebelumnya mereka sangat dihormati, setelah masuk Islam, mereka dikucilkan.

Moenawar Khalil, dalam bukunya, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw (Jakarta: GIP, 2001), menceritakan, Hushein bin Salam kemudian diganti namanya oleh Rasulullah saw menjadi Abdullah bin Salam.

Dia pernah membuktikan bagaimana sikap kaumnya terhadap dirinya. Suatu ketika, kaum Yahudi datang kepada Rasulullah, saat Abdullah bin Salam sedang di sana. Dia berpesan kepada Rasulullah agar menanyakan kepada kaumnya, bagaimana pandangan mereka terhadap dirinya. Saat kaum Yahudi datang, Rasulullah saw bertanya pada mereka, bagaimana pandangan mereka terhadap Husein. Yahudi menjawab: “Ia adalah sebaik-baik orang kami dan sebaik-baik anak lelaki orang kami. Ia adalah semulia-mulia orang kami dan anak lelaki dari seorang yang paling alim dalam golongan kami, karena dewasa ini di kota Madinah tidak ada seorangpun yang melebihi kealimannya tentang kitab Allah (Taurat).”

Kaum Yahudi itu memuji-muji Abdullah. Kemudian Abdullah muncul dan mengajak kaum Yahudi untuk beriman pada kenabian Muhammad saw. Abdullah mengatakan kepada kaumnya, bahwa mereka sebenarnya telah memahami Muhammad adalah utusan Allah, sebab sifat-sifatnya telah disebutkan dalam Kitab mereka.

Mendengar ucapan Abdullah bin Salam, kaum Yahudi berbalik mencaci maki, dan menuduhnya sebagai pendusta. Sebab, dia sudah tidak lagi memeluk agama Yahudi. Ketika itu, turunlah wahyu kepada Rasulullah saw:

“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al Qur’an itu datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur’an lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim“.(QS Al-Ahqaf ayat 10)

Setelah kabar keislaman Abdullah bin Salam tersiar di kalangan kaum Yahudi, maka mereka dengan congkak dan sombong mengata-mengatai, mencaci-maki, menghina, menjelek-jelekkan dan memusuhinya dengan sekeras-kerasnya. Pada suatu hari di antara pendeta-pendeta Yahudi ada yang berkata kepada yang lainnya dan perkataan itu sengaja ditujukan kepada Abdullah bin Salam, di antaranya: “Tidak akan seseorang yang percaya kepada Muhammad dan seruannya melainkan orang yang seburuk-buruknya dan serendah-rendahnya. Orang yang paling baik dan paling mulia dari golongan kita tidak akan berani meninggalkan agama pusaka nenek moyangnya dan mengikuti agama lain, dari golongan lain dan bangsa lain. Jadi, barangsiapa dari golongan kita sampai mengikuti agama Muhammad teranglah bahwa ia seorang yang sejahat-jahatnya di kalangan kita.”

Abdullah bin Salam tidak mempedulikan caci maki keluarga dan kaumnya. Dia terus bertahan dalam Islam dan termasuk sahabat Nabi dari kaum Anshar. Ia meninggal tahun 43 H di Madinah, di masa Khalifah Mu’awiyah.

Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran ayat 113-115)

Abdullah bin Salam termasuk diantara kaum Yahudi yang nyeleneh, yang berani menentang tradisi kesombongan kaumnya sendiri. Di antara kaum Yahudi, ada juga yang berani mengkritik ajaran agamanya dan praktik-praktik kebiadaban kaumnya sendiri, meskipun mereka tidak sampai memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Dr. Israel Shahak . Guru besar biokimia di Hebrew University ini memang bukan Yahudi biasa. Dia tidak seperti sebagaimana kebanyakan Yahudi lainnya, yang mendukung atau hanya bengong saja menyaksikan kejahatan kaumnya.

Suatu ketika, saat dia berada di Jerusalem, pakar biokimia dari Hebrew University ini menjumpai kasus yang mengubah pikiran dan jalan hidupnya. Saat itu, hari Sabtu (Sabath) Shahak berusaha meminjam telepon seorang Yahudi untuk memanggil ambulan, demi menolong seorang non-Yahudi yang sedang dalam kondisi kritis.

Di luar dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi itu pun akhirnya tidak tertolong lagi. Prof. Shahak kemudian membawa kasus ini ke Dewan Rabbi Yahudi � semacam majlis ulama Yahudi � di Jerusalem. Dia menanyakan, apakah menurut agama Yahudi, tindakan si Yahudi yang tidak mau menyelamatkan orang non-Yahudi itu dapat dibenarkan oleh agama Yahudi. Lagi-lagi, Prof. Shahak terperangah. Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The Rabbinical Court of Jerusalem) menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan orang non-Yahudi ke ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai “tindakan yang mulia”. Prof. Shahak menulis: “The answered that the Jew in question had behaved correctly indeed piously.”

Kasus itulah yang mengantarkan Prof. Shahak untuk melakukan pengkajian lebih jauh tentang agama Yahudi dan realitas negara Israel. Hasilnya, keluar sebuah buku berjudul Jewish History, Jewish Religion (London: Pluto Press, 1994). Dalam penelitiannya, ia mendapati betapa rasialisnya agama Yahudi dan juga negara Yahudi (Israel). Karena itulah, dia sampai pada kesimpulan, bahwa negara Israel memang merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Katanya, “In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond.”

Sebagai satu “negara Yahudi” (a Jewish state), negara Israel adalah milik eksklusif bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai “Jewish”, tidak peduli dimana pun ia berada. Shahak menulis: “Israel ‘belongs’ to persons who are defined bu the Israeli authorities as ‘Jewish’, irrespective of where they live, and to them alone.” Shahak menggugat, kenapa yang dipersoalkan hanya orang-orang yang bersikap anti-Yahudi. Sementara realitas pemikiran dan sikap Yahudi yang sangat diskriminatif terhadap bangsa lain justru diabaikan.

Kaum Yahudi, misalnya, dilarang memberikan pertolongan kepada orang non-Yahudi yang berada dalam bahaya. Cendekiawan besar Yahudi, Maimonides, memberikan komentar terhadap salah satu ayat Kitab Talmud: “It is forbidden to save them if they are at the point of death; if, for example, one of them is seen falling into the sea, he should not be rescued.” Jadi, kata Maimonides, adalah terlarang untuk menolong orang non-Yahudi yang berada di ambang kematian. Jika, misalnya, ada orang non-Yahudi yang tenggelam di laut, maka dia tidak perlu ditolong. Israel Shahak juga menunjukkan keanehan ajaran agama Yahudi yang menerapkan diskriminasi terhadap kasus perzinahan. Jika ada laki-laki Yahudi yang berzina dengan wanita non-Yahudi, maka wanita itulah yang dihukum mati, bukan laki-laki Yahudi, meskipun wanita itu diperkosa. Tidak banyak orang Yahudi yang berani bersuara keras terhadap agama dan negaranya, seperti halnya Prof. Israel Shahak, sehingga dia memang bisa dikategorikan Yahudi yang nyeleneh.

Yahudi nyeleneh lainnya yang kemudian memeluk Islam bahkan menjadi Muslimah yang hebat adalah Margareth Marcus, yang kemudian mengganti namanya menjadi Maryam Jameela. Kisah hidup Maryam Jameela dapat dibaca dalam buku Surat Menyurat Maryam Jamilah �Maududi (Bandung: Mizan, cet. Ke-4, 1990).

Margareth Marcus termasuk orang Yahudi Amerika yang nyeleneh. Ketekunan dan kesungguhannya untuk mempelajari berbagai agama dan pemikiran-pemikiran modern akhirnya mengantarkannya menjadi seorang Muslimah, dan berganti nama menjadi Maryam Jameela. Ia kemudian dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim terkenal dan penulis banyak buku yang cukup bermutu. Sejak remaja, Margareth Marcus sudah berbeda dengan kebanyakan teman sebayanya. Dia sama sekali tidak menyentuh rokok atau minuman keras. Pesta-pesta dan dansa-dansa pun dia jauhi. Ia hanya tertarik dengan buku dan perpustakaan.

Ia bercerita tentang kisah ketertarikannya kepada Islam. Pada tahun kedua di Universitas New York, Margareth mengikuti mata kuliah tentang Yudaisme dan Islam. Dosennya seorang rabbi Yahudi. Pada setiap kuliah, sang dosen selalu menjelaskan, bahwa segala yang baik dalam Islam sebenarnya diambil dari Perjanjian Lama (Bibel Yahudi), Talmud, dan Midrash. Kuliah itu juga diselingi pemutaran film dan slide propaganda Zionis. Tapi, kuliah yang menyudutkan Islam itu justru berdampak sebaliknya bagi Margareth. Dia justru semakin melihat kekeliruan ajaran Yahudi dan semakin tertarik dengan Islam. Dalam suratnya kepada Abul A’la al-Maududi (seorang ulama besar Pakistan), Margreth menulis:

“Walaupun kenyataannya di dalam kitab Perjanjian Lama terdapat konsep-konsep universal tentang Tuhan dan cita moral luhur seperti yang diajarkan oleh para nabi, tetapi agama Yahudi selalu mempertahankan karakter kesukuan dan kebangsaan. Dan meskipun di dalamnya terdapat idealisme luhur, namun kitab suci agama Yahudi itu bagaikan buku sejarah orang Yahudi saja layaknya � sejarah ketuhanan dan kebangsaannya… Sebagian besar pemimpin Yahudi memandang Tuhan sebagai super agen real estate yang membagi-bagikan lahan untuk keuntungan mereka sendiri… Betapa pun unggulnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Israel, namun saya yakin kemajuan material yang dikombinasikan dengan moralitas kesukuan bangsa “terpilih” ini adalah suatu ancaman yang amat besar bagi perdamaian dunia.”

Margareth Marcus kemudian memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Dalam salah satu tulisannya, Margareth menulis: “… saya percaya bahwa Islam adalah jalan hidup yang unggul dan merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran.” Namun, Margareth mengaku keheranan, banyak orang Islam sendiri yang tidak meyakini keunggulan Islam. Ia menulis tentang hal ini:

“Berkali-kali saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Islam yang belajar pada universitas-universitas di New York yang berusaha meyakinkan saya bahwa Kemal Attaturk adalah orang Islam yang baik, dan bahwa Islam harus menerima kriteria filsafat kontemporer, sehingga bila ada akidah Islam dan periabadatannya yang menyimpang dari kebudayaan Barat modern, maka hal itu harus dicampakkan. Pemikiran demikian dipuji sebagai “liberal”, “berpandangan ke depan”, dan “progresif”. Sedang orang-orang yang berpikiran seperti kita dicap sebagai “reaksioner dan fanatik”, yakni orang-orang yang menolak untuk menghadapi kenyataan masa kini.”

Sebelum resmi menyatakan diri sebagai Muslimah, Margareth Marcus telah menulis berbagai artikel yang membela Islam di sejumlah jurnal internasional. Ia dengan tegas memberikan kritik-kritiknya terhadap paham-paham modern. Dalam suratnya kepada Maududi, 5 Desember 1960, ia menulis:

“Pada tahun lalu saya telah berketetapan hati untuk membaktikan kehidupan saya guna berjuang melawan filsafat-filsafat materialistik, sekularisme, dan nasionalisme yang sekarang masih merajalela di dunia. Aliran-aliran tersebut tidak hanya mengancam kehidupan Islam saja, tetapi juga mengancam seluruh umat manusia.”

Dalam buku yang ditulisnya, berjudul Islam versus the West, Maryam Jemeela memaparkan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental. Sehingga, menurutnya, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap pandangan hidup Barat yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekular, akan berujung pada pemusnahan Islam. (The imitation of Western ways of life based on their materialistic, pragmatic, and secular philosophies can only lead to the abandonment of Islam).

Untuk lebih menekuni dan tenang dalam menjalankan Islam, Maryam Jameela kemudian memilih untuk berhijrah ke Pakistan, setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya. Maryam Jameela pun termasuk sedikit diantara kaum Yahudi yang memiliki sikap kejujuran dan keberanian untuk menerima Islam. Jadi, bisa dikatakan, dia juga nyeleneh.

Yahudi lain yang kemudian bersikap tidak biasa adalah Leopold Weiss yang kemudian berganti nama menjadi Muhammad Asad. Bukunya yang sangat bagus untuk dibaca berjudul Islam at the Cross Road (Islam di Simpang Jalan). Sebagaimana Maryam Jameela, dalam buku ini, Asad juga memaparkan dengan jitu bagaimana karakteristik peradaban Barat dan bagaimanma seharusnya kaum Muslim menghadapi serbuan pemikiran dan budaya Barat.

Muhammad Asad mencatat, bahwa Peradaban Barat modern hanya mengakui penyerahan manusia kepada tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tuhannya yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, kenikmatan duniawi. Mereka mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban Romawi Kuno. Konsep “keadilan” bagi Romawi, adalah “keadilan” bagi orang-orang Romawi saja. Sikap semacam itu hanya mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan pada konsepsi hidup yang sama sekali materialistik. Asad menilai, sumbangan agama Kristen terhadap peradaban Barat sangatlah kecil. Bahkan, saripati peradaban Barat itu sendiri sebenarnya ‘irreligious’. (� so characteristic of modern Western Civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to Islam or any other religion, because it is irreligious in its very essence).


Asad juga mengingatkan, bahwa bahaya terbesar yang dihadapi kaum Muslim di era modern adalah peniruan model hidup Barat. Dia katakan: Peniruan model hidup Barat � secara individual dan sosial � oleh kaum Muslimin, tidak diragukan lagi merupakan bahaya terbesar bagi kehidupannya. Atau, tepatnya, bagi kebangkitan kembali peradaban Islam.”

Juga, menurut Asad, umat Islam harus memiliki kebanggaan terhadap peradabannya sendiri dan tidak memutuskan kehidupannya dengan sejarahnya sendiri. Sebab, tulisnya, “No civilization can prosper or even exists, after having lost this pride and the connection with its own past.” (Tidak ada satu peradaban yang dapat berkembang, atau bahkan eksis, jika telah kehilangan kebanggaan terhadap peradabannya sendiri dan terputus dengan masa lalunya sendiri).

Itulah sejumlah contoh Yahudi-yahudi yang nyeleneh, yang menyimpang dari tradisi kaumnya. Biasanya mereka tidak popular di antara kaum Yahudi sendiri. Maryam Jameela menyebutkan ada seorang temannya, Yahudi di AS, yang memeluk Islam dan kemudian dipaksa oleh orang tuanya untuk kembali ke agama Yahudi.

Islam telah meluruskan ajaran Yahudi yang membanggakan ideologi darah (keturunan). Islam berdasarkan pada keimanan dan ketaqwaan. Siapa pun yang bertaqwa, itu yang mulia. Bangsa apapun dia. Ras apa pun dia. Yahudi atau bukan Yahudi sama saja. Yang penting Islam. Ideologi darah seperti yang dipraktikkan kaum Yahudi adalah ideologi “Iblis”. Umat Islam wajib meluruskan ideologi semacam ini. Kesombongan dan kedengkian telah menghalangi banyak kaum Yahudi untuk menerima kebenaran Islam. [Depok, 13 Februari 2009/hidayatullah.com]

penulis : Adian Husaini (Swaramuslim)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktops